Hari itu matahari bersinar cukup terik, ditambah terdengar ocehan burung yang hinggap di atas ranting pohon, aku kembali ke kemah. Hemm masih terbayang dengan kejadian tadi pagi, bertemu teman lama yang sekarang berprofesi sebagai penjual keliling, hatiku rasanya sedih dan prihatin. Lalu aku duduk sejenak di bawah pohon besar yang rindang sambil membayangkan nasib teman lamaku Sarah.
Suara langkah kaki
pun terdengar dari balik pohon. Oh ternyata Dina yang datang menghampiri ku. “
hei Dewi! sedang apa kamu di sini? Kok melamun sih? Awas nanti kesambet lho!”
Tutur Dina sambil mengagetkan diriku. “hhaahaha …. Gak mungkinlah aku kesambet.
Kan aku kebal.” Kataku dengan sombong. “ Waduh sejak kapan ya teman ku yang
bernama Dewi ini kebal. Hahahaha dasar, ditanya malah bercanda.” Sambungnya.
“ya aku kebal sejak saat ini. Hahaha.” Tuturku sambil tertawa terbahak-bahak. “
By the way.. kenapa kamu melamun disini? Ayo kita ke tenda!” Ucap Dina. Lalu
aku dan Dina masuk kedalam tenda. Rasa prihatin yang masih mengganjal di benakku
semakin menjadi-jadi. Tak kuat rasanya melihat penderitaan Sarah.
Aku berusaha tidur
didalam tenda. Tetapi kejadian tadi pagi terus membuatku sedih. Sampai-sampai
air mata ini menetes. Meskipun hanya dua tetesan saja.
Dina melirikku, dia sejak tadi memperhatikanku terus. “ kok mata mu ada
airnya sih?” Tanya Dina dengan kalimat yang aneh. “hah? Hahaha iya pastinya.
Kalau di dalam mataku tidak ada airnya, bagaimana jadinya? Dasar aneh kamu!”
jawabku sambil bercanda. “ iya sih. Tapi maksud ku, kenapa kamu nangis? Cerita
dong!” sambungnya. Akhirnya aku ceritakan kepada Dina, kalau aku bertemu dengan
teman lamaku yang bernama Sarah sedang menjual mendoan. Lalu aku ceritakan
dengan nada prihatin.
“Aku tak tega.
Bayangkan! Sarah itu adalah anak yang pintar di sekolah. Dia tak pernah sombong
dan pelit dalam membagi ilmunya kepadaku dan teman-teman. Aku tak menyangka dia
sekarang menjadi seorang penjual mendoan keliling.” Ujarku sambil air mata menetes
ke pipi . “aku pengen tanya, mendoan itu apa? Semacam mainan ya? Tanya Dina
dengan wajah uniknya yang sangat polos. “ya ampun! Tambah sedih rasanya curhat
sama kamu. Mendoan itu adalah tempe yang di goreng dengan tepung.” Jawabku
dengan nada kesal.
Setelah aku menceritakan kepada Dina, akhirnya ada solusi yang baik untuk
membantu Sarah. Dan ide untuk solusi itu, Dina sendiri yang berikan kepadaku.
Hemm meskipun dia aneh dan sangat polos, dia juga pintar lho.
Di pagi hari yang sejuk, seperti biasa, Sarah kembali pergi untuk
berjualan mendoan. Tidak biasanya Sarah terlihat murung hari ini. Wajahnya
terlihat kusut. Ia masih mengingat kejadian masa lalu yang sangat menyesakkan
hatinya. Ayahnya meninggal dunia karena tabrak lari. Tepat di depan matanya.
Sungguh mengenaskan! Andai saja Ayahnya masih hidup, pasti ia bisa melanjutkan
sekolah.
Tepat pukul 07.00 WIB, rombongan kamping bersiap-siap untuk pulang. Tetapi aku dan Dina meminta izin untuk tidak pulang bareng dengan rombongan, karena kami masih punya urusan yang harus di selesaikan sekarang. Mereka pun mengizinkan kami. Lalu aku dan Dina berlari untuk mencari rumah Sarah. Kami bertanya kepada warga sekitar, tetapi tak ada yang mengetahui. Dengan perasaan yang kecewa, aku dan Dina kembali mencari rumah Sarah.
Selangkah demi selangkah aku tapakkan jejak ku di atas tanah sambil mata ini
melirik kesana kemari. Tiba-tiba ada seorang nenek tua menghampiriku dan Dina.
Nenek itu terlihat lelah. Lalu aku beri dia minum. Sebagai rasa terima
kasihnya, nenek itu lalu mengantarkan kami ke rumah Sarah.
Perjalanan ke rumah Sarah sungguh jauh. Hanya
dengan jalan setapak. Itu pun berliku-liku. Akhirnya terlihat sebuah
perkampungan kecil di depan mata. “nek, dimana rumahnya Sarah?” Tanyaku. “itu
disana!” jawab nenek.
Hemm sampai juga akhirnya. Tapi rumah itu terlihat sepi. Seperti ditinggal oleh
penghuninya. Tiba-tiba dari dalam rumah, keluarlah Sarah dengan ciri khas
membawa baskom berisi mendoan.” Hei Dewi sedang apa kamu di sini?” Tanya Sarah
yang terkejut melihat Dewi. “ Aduh maaf sudah mengagetkanmu. Aku hanya kangen
ingin bertemu denganmu lagi.” Tuturku sambil memeluk Sarah.
Air mata pun mengalir. Ternyata Sarah pun sama
merindukanku. “Nasibku sekarang jadi seperti ini. Hidupku kacau tak punya cita-cita
dan semangat hidup lagi semenjak ayah meninggal karena di tabrak lari.”
Tuturnya dengan penuh kesedihan.
Aku dan Dina lalu menenangkan hatinya. “sabar ya, mungkin ini sudah rencana
dari Allah. Kita harus hadapi dengan ikhlas.” Sambungku, sambil melepas
pelukannya.
Aku dan Dina menceritakan kepada Sarah tentang rencana yang kami buat untuk membantu Sarah serta keluarganya. “jadi, apakah kamu mau menerima tawaranku? Ajak keluargamu untuk hidup layak di Jakarta. Kasihan adik-adikmu. Mereka juga ingin sekolah.” Ajakku kepadanya. “A..a..aaku ingin rasanya untuk menerima tawaranmu (dengan nada gugup), tapi aku takut merepotkanmu. Lagi pula aku hanya lulusan SMA. Aku minder untuk bekerja sebagai guru agama” tuturnya dengan kepala yang tertunduk. “hei.. aku yakin kamu bisa. Kamu kan wanita yang cerdas, lagi pula kamu kan pintar sekali mengaji. Yayasan pesantren ayahku juga sedang membutuhkan guru ngaji. Hemm.. Aku harap kamu mau ikut denganku.”
Sarah dan keluarganya pun mau ikut denganku tinggal di Jakarta. Dia dan
keluarganya akan tinggal di sebuah yayasan pesantren milik ayahku. Sarah juga
akan mengajar di sana.
Beberapa bulan kemudian aku bertemu dengan Sarah.
Sekarang dia menjadi gadis yang optimis dan penuh semangat. Dia sekarang
menjadi guru ngaji di yayasan itu. Kehidupan keluarganya pun sekarang tidak
pernah kekurangan. Akhirnya Sarah bisa menggapai cita-citanya sebagai
guru. Beruntungnya Sarah memiliki sahabat yang baik seperti Dewi dan Dina.
BY KUSRINAWATI
0 komentar:
Post a Comment