Bisakah Banjir Jakarta Dikurangi? Begitu sebuah artikel di LIPI. Sebuah pertanyaan yang sering mengemuka ketika musim Banjir di Jakarta. Ya, saat musim hujan sudah tiba, kita harus mulai bersiap-siap lagi.
Dalam artikel bernuansa dongengan ilmiah populer ini Pusat Geoteknologi LIPI, atau sering dikenal dengan Geotek ini menceriterakan bahwa banjir di Jakarta memang sudah sejak dulu. Sejak jaman Bang Pitung dan Bang Jampang. Tercatat yang terbesar adalah yang terjadi pada tahun 1621, 1654, 1725 dan yang paling besar adalah yang terjadi pada tahun 1918, yang merupakan akibat dari pembabatan hutan untuk perkebunan teh di Puncak. Waktu itu, banyak korban manusia dan harta benda yang lain. Banjir itulah yang membuat Pemerintah Belanda pada saat itu membuat perencanaan untuk mencegah banjir di Batavia. Rencana pencegahan itu kemudian terkenal dengan apa yang disebut sebagai “Strategi Herman van Breen” (1920 -1926), disebut demikian karena meneer van Breen adalah ketua tim pencegahan banjir di Batavia pada saat itu.
“Pakdhe, kok jadi mirip cerita Merapi yang awanpanasnya sudah pernah juga sampai Cangkringan sebelumnya. Ini banjir Jakarta sudah ada sejak jaman rekiplik juga, ya”
“Itulah perlunya belajar sejarah, Thole. Tidak hanya sejarah perjuangan bangsa tetapi termasuk belajar sejarah geologinya. Karena manusia jangka hidupnya terlalu bayi dibanding usia bumi tempat dipijak.”
Strategy mengatasi banjir dari Meneer Van Breen
Strateginya sangat sederhana yaitu mengendalikan air agar tidak masuk kota. Untuk itu dibuatlah kolektor air dipinggiran selatan kota dan untuk kemudian dialirkan ke laut melalui tepi barat kota. Waktu itu batas selatan kota adalah di Manggarai. Jadi saluran itu dimulai dari sana terus melalui pinggir kota dan berakhir di Muara Angke. Saluran tersebut yang terkenal dengan sebutan Banjir Kanal (sekarang Banjir Kanal Barat). Kanal ini pada saat sekarang sudah tidak bisa bekerja secara optimal karena Jakarta sudah menjadi sangat luas dan tempat parkir air di hulu sudah semakin sempit. Aliran air menjadi semakin liar mulai dari hulu.Sebenarnya strategi Meneer Breen ini masih bisa kita adopsi untuk keadaan saat ini, dengan memperhitungkan luas kota, kodisi bangunan, kepadatan penduduk, dan juga kondisi geologi Jakarta. Selama ini kalau banjir, yang selalu dipermasalahkan adalah kondisi di permukaan saja. Diskusi pencegahan banjir jarang mengikutkan kondisi geologi Jakarta yang sebenarnya punya peranan penting sebagai penyebab banjir. Logikanya, mengapa terjadi banjir di zaman dulu di saat tutupan lahan masih bagus, bangunan masih sangat sedikit, sementara hujan (tanpa memperhitungkan perioda ulang) yang jatuh di Jakarta relatif sama dari tahun ke tahun. Mestinya ada faktor yang lain di bawah permukaan.
Dari analisis kondisi geologi Cekungan Jakarta yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Geoteknologi – LIPI, Bandung, kondisi geologi di selatan Jakarta ikut berperan sebagai penyebab banjir. Seperti kita ketahui bahwa Formasi Bojongmanik yang masif menyebar dgn arah hampir barat-timur (Serpong sampai Cibinong) dan bertindak seperti underground dam bagi air tanah yang mengalir dari daerah tinggian di Selatan Jakarta. Secara sederhana dapat kita artikan bahwa airtanah umumnya akan keluar ke permukaan disepanjang penyebaran formasi ini dan menambah pasokan air permukaan yang mengalir ke hilir, ke Jakarta dan sekitarnya. Dalam kondisi jenuh air, hampir semua air hujan yang turun dibagian hulu akan menjadi air permukaan yang lari kemana-mana karena kapasitas sungai dan drainase yang ada sudah tak mencukupi. Banjir, lah. Istilahnya sekarang, air menggenang dimana-mana.
Tapi, jangan lekas putus asa dan membuat pernyataan : Siapapun Gubernur Jakarta atau siapapun Presiden Indonesia, tidak ada yang bisa mencegah banjir Jakarta. Kalau ada keinginan yang teguh dan kuat mestinya bisa. Memaksimalkan fungsi kedua banjir kanal, memperdalam dalam dasar 13 sungai yang mengalir melintasi Jakarta, dan perbaikan drainase di tepi jalan-jalan raya, tentulah akan mengurangi banjir sesaat yang sering terjadi di Jakarta akhir-akhir ini dan menyebabkan macet yang tak jelas ujung pangkalnya. Jadi, strategi Breen sebenarnya masih valid, ditambah dengan memperhitungkan kondisi geologi dalam analisis penentuan lokasi kolektor air di hulu.
“Wah Pakdhe, hebat ini pandangan LIPI sangat realis ya ?”
“Bener Thole, walaupun dibuat biopori, sumur resapan dll diseluruh permukaan jakarta, kalau tanahnya sudah jenuh air hujan ya tidak mampu lagi menyerap air permukaan. Makanya pemanfaatan ilmu kanuragan para punggawa dirjen pengairan dengan menggunakan rekayasa atau engineering banjir kanal merupakan satu cara cerdas manusai dalam memanfaatkan alam yang serba terbatas”
Aliran air bawah permukaan
Dari analisis temperatur bawah permukaan dan isotop stabil, kita simpulkan bahwa dataran Jakarta hampir 75 %-nya daerah luahan (discharge area). Jadi air memang lebih cenderung mengali di permukaan daripada pada meresap masuk. Sementara daerah yang tadinya berperan sebagai daerah resapan (recharge area), sekitar 25% dari luas Jakarta, sudah berubah menjadi kompleks bangunan yang kapasitas meresapkan air menjadi sangat sedikit. Jadi meskipun tidak ada kiriman dari Puncak dan Bogor, di Jakarta bila ada hujan cenderung akan terjadi banyak genangan di daerah-daerah yang lebih rendah. Karena endapan di Jakarta adalah endapan delta yang di dominasi endapan sungai dan endapan pantai. Di daerah ini aliran air kadang tak terduga dan kecenderungan tanah ambles juga tinggi. Endapan delta biasanya unconsolidated ditambah ekploitasi airtanah yang berlebihan, bangunan yang sangat masif dan berat, semua akan memicu terjadinya amblesan yang akan menambah dalam daerah genangan.“Looh Pakdhe, kok banyak pengaruh faktor bawah permukaannya juga ya ? Katanya itu hanya limpasan permukaan saja ?”Jadi apa yang mesti dilakukan? Yang paling sederhana adalah memperluas dan memperdalam daerah2 yang bisa dipakai air untuk parkir, dengan perbaikan kondisi sungai, pembuatan kanal atau saluran drainase yang lebih banyak., karena Jakarta tidak mesti menunggu tetangga untuk memperbaiki kondisi tutupan lahan agar tidak mengalirkan air dalam jumlah banyak ke Jakarta. Usaha perbaikan ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, mungkin agak sedikit kalah cepat pembangunan yang dilakukan dibanding hujan yang turun dan adanya musim yang tidak lazim pada beberapa tahun terakhir. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pembangunan resort di tepi pantai, karena tanpa disadari daerah yang dipenuhi oleh bangunan di tepi pantai secara tidak sengaja bertindak sebagai penghalang air untuk mengalir lepas ke laut dan menyebabkan banjir beberapa saat di daerah yang terletak di belakangnya.
“Kalau yg meneliti GeoTek LIPI ya menunjukkan bagaimana sifat bawah permukaan akan mengontrol yang dipermukaan, Thole”
Jadi, apakah banjir Jakarta bisa dikurangi? “Mestinya bisa, dong!” demikian kata Robert Delinom dari LIPI.
Sumber : LIPI & Dongeng Geologi
0 komentar:
Post a Comment